Halaman

Rabu, 04 Mei 2011

SULITNYA MENERIMA KONSEP “KEBERSAMAAN”


SULITNYA MENERIMA KONSEP “KEBERSAMAAN”


Dalam banyak kesempatan, orang sering menyuarakan “kebersamaan”, misalkan “kebersihan lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama,” “keamanan lingkungan adalah tanggung jawab bersama,” “pembangunan lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama,” dan lain-lain yang senada dengan itu.
            Namun apa yan terjadi di ‘lapangan’ ? seakan semua itu isapan jempol belaka. Rasa kebersamaan mereka tergerus oleh egoisme diri yang kental. Contoh nyata sederhana, dari 730 meter jalan utama, Pemerintah memberi bantuan perbaikan jalan sepanjang 700 meter, sisanya 30 meter di ujung jalan diharapkan dilakukan pembiayaan secara swadaya. Namun, apa yang terjadi ?, rasa kebersamaan kandas habis. Ini yang terjadi jika warga dimintai ‘tanggung jawab bersamanya.’ !
            Sisa 30 meter masih ada di lingkungan ‘bersama’ yang jika dipikul bersama (500 warga) akan sangat ringan. Tapi, kalau sudah urusannya minta bantuan dana, maka banyak warga yang langsung ‘pura-pura miskin.’ “Saya tidak pernah melalui jalan itu,” “minta saja warga RT yang ada di sana untuk membangun secara bergotong-royong,” dan ocehan-ocehan senada dengan itu yang pada intinya, rasa kebersamaan adalah OMONG KOSONG.
            Jadi konsep kebersamaan yang akan ‘merugikan’ dirinya, akan ditolak mentah-mentah, sebaliknya, konsep kebersamaan yang akan ‘menguntungkan’ dirinya, cepat-cepat ia terima. Seperti contoh, pembagian kompor gas gratis dari Pemerintah, buru-buru warga (termasuk golongen the have/ kaya) mendaftarkan diri (meski kompor itu untuk golongan tidak mampu). Ternyata, warga kita sudah terbiasa pola “dibagi,” bukan “membagi” atau “diberi” bukan “memberi,” “saling diberi” bukan “saling memberi,” “saling dibagi” bukan “saling membagi.”
            Mental seperti ini yang saya pribadi berpendapat merupakan mental kere (miskin). Menurut saya “doa adalah segala niat, ucapan, dan perilakunya.” Artinya “jika perilaku kita selalu seperti orang miskin” maka insya Allah, doa kita akan terkabul, menjadi orang miskin sungguhan. Dalam hal lain, ‘tabungan akhirat’ adalah amal perbuatan dikurangi pembayaran tunai di dunia. Contoh, jika kita menyumbang masjid dengan harapan nama kita disebut sebagai penyumbang, maka ketika Panitia sudah mengumumkan nama kita sebagai penyumbang, habislah ‘tabungan’ untuk akhirat, sudah tunai dibayar di dunia. Namun demikian, kita tidak perlu menuliskan diri sebagai ‘Hamba Allah’ biar tidak diketahui orang lain (meskipun itu sangat baik), silakan saja ditulis nama kita, masalah Panitia menyebutkan nama kita sebagai penyumbang, itu memang kewajiban mereka (sebagai laporan pertanggung-jawaban mereka kepada publik), yang penting niat kita menyumbang tidak untuk menyombongkan diri.
            Jadi, inti dari penulisan ini adalah, jika kita memang ingin menciptakan suasana kebersamaan di lingkungan kita, maka kita harus mau berkorban (menabung untuk akhirat) demi membantu rekan-rekan kita yang tidak seberuntung kita. Sebaliknya, rekan-rekan yang sudah dibantu, suatu saat bersedia membantu kesulitan-kesulitan rekan-rekan lainnya, baik yang sudah pernah membantunya, maupun yang belum. Jika sudah begini, indah rasanya dunia ini. Kita tidak perlu mencari hiburan ke luar komplek yang macet, panas, mahal, dan melelahkan, kita ciptakan hiburan di dalam komplek untuk menghibur diri kita bersama....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar