Halaman

Minggu, 07 April 2013

Tulisan Saya di Buletin MUTIARA Edisi April 2013



DERAJAT MANUSIA 


Ketika saya bertanya kepada orang lain, “siapa orang yang paling Anda hormati saat ini ?,” maka akan muncul jawaban yang beragam dari setiap orang yang saya tanya. Ada yang menjawab “orang tua,” ada yang menjawab “guru,” ada yang menjawab “presiden,” ada yang menjawab “atasan,” dan sebagainya. Sebetulnya, jawaban apapun, mereka yang dihormati akan memiliki ciri yang sama.

PEMIMPIN

Mereka yang dihormati pasti ia adalah seorang pemimpin, baik pemimpin keluarga, pemimpin masyarakat, maupun pemimpin umat. Nabi Muhammad SAW, pasti merupakan orang yang paling dihormati bagi umat Islam. Karenanya, seorang pemimpin selalu mendapat derajat yang lebih tinggi oleh Tuhan dari orang yang dipimpinnya, seperti pepatah “tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” Tentu saja, pemimpin itu haruslah pemimpin yang amanah yang menuntun seluruh orang yang dipimpinnya menuju kehidupan yang lebih baik, baik dalam sisi duniawinya maupun akhiratnya.

Dalam beragama, tentu saja setiap umat diharapkan mengejar derajat setinggi-tingginya, misalkan sholat berjamaah memiliki nilai (derajat) yang lebih tinggi dari sholat sendiri, maka usahakanlah sholat berjamaah. Seorang imam (pemimpin sholat) memiliki derajat yang lebih tinggi dari makmumnya, maka berusahalah untuk mampu menjadi imam. Seorang pemimpin warga memiliki derajat yang lebih tinggi dari warganya, maka berusahalah menjadi pemimpin warga.

Perhatikan diri kita dan sekeliling kita, kita sering berpikir dan berperilaku terbalik, menolak bila Tuhan akan meninggikan derajat kita, malas sholat berjamaah, dan malas (dan bahkan, maaf, marah-marah kalau diminta) menjadi pemimpin warga. Ini fakta nyata yang hampir tak terbantahkan.

PANUTAN

Mereka yang dihormati, pasti memiliki perilaku yang pantas dijadikan panutan (teladan). Ini yang sudah mulai langka di negara kita. Tapi, maukah kita sebagai orang tua tidak lagi dihormati anak-anak kita ?. Anak-anak sekarang sangat kritis, ia tidak akan begitu saja percaya  atas apa yang kita ucapkan, tetapi mereka juga akan memperhatikan apa yang kita lakukan (perilaku). 

“Orang akan semakin tinggi derajatnya jika ia semakin tidak bebas hidupnya, sebaliknya, orang akan semakin rendah derajatnya jika ia semakin bebas hidupnya,” dengan kata lain, “orang akan semakin tinggi derajatnya jika ia sanggup menerima semakin banyak peraturan bagi dirinya, bahkan ia menambah lagi peraturan-peraturan itu dengan peraturan yang ia buat sendiri.” Contoh, seorang bangsawan Inggris, sampai-sampai memiliki aturan untuk melambaikan tangan, bagaimana duduk di kursi makan, bagaimana bersalaman dengan tamu, dan sebagainya. Iapun memiliki peraturan yang ia buat sendiri untuk memantaskan diri bahwa ia seorang bagsawan.

Jadi, jika kita sebagai orang tua, maka kita harus menaati segala peraturan dari lingkungan (misalkan peraturan negara) kepada kita, dan kita harus memiliki peraturan sendiri yang memantaskan diri bahwa kita ini adalah orang tua. Jika kita adalah seorang pelajar, maka kita harus menaati segala peraturan sebagai pelajar, dan menjaga diri (membuat aturan sendiri) sehingga kita pantas disebut dengan pelajar, demikian seterusnya, sebagai apa kita. Karena peran kita bisa berubah-ubah, misalkan di rumah sebagai orang tua, di kantor sebagai pegawai, di lingkungan kita sebagai warga negara, maka  pepatah “di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung” harus diikuti.

Perhatikan lagi, siapa orang yang paling rendah derajatnya ?, merekalah orang yang paling bebas di dunia ini, yaitu siapa orang yang tidak mau menaati seluruh peraturan yang ada, ialah orang gila !. Jadi, konsep “kebebasan pers” misalnya, tidak berarti insan-insan pers boleh bekerja semena-mena, tidak berarti boleh menyebarkan berita bohong atau mengadu domba seenaknya, bagaimanapun mereka tetap memiliki peraturan dan prosedur yang harus ditaatinya.

BERKORBAN

Sifat orang yang dihormati adalah penuh pengorbanan diri untuk mereka yang dipimpinnya. Seorang ayah yang bekerja keras untuk menafkahi seluruh anggota keluarganya, merupakan salah satu contoh pengorbanan diri.  Karenanya, ketika ia sedang bekerja, tak ubahnya ia sedang berjihad di jalan Tuhan, sehingga bila ia meninggal ketika bekerja, maka Tuhan akan menjanjikan surga untuknya. 

Sifat ini yang masih jarang kita temui di diri pemimpin-pemimpin kita, malah sebaliknya, ada di antara mereka yang suka mengorbankan orang lain untuk membela kepentingan pribadinya. Mengapa kita perlu berkorban untuk orang lain ?, karena Tuhan tidak memerlukan (apapun yang bisa kita lakukan untukNya), justru kitalah yang memerlukanNya, khususnya di akhirat kelak. Karena dunia dan seisinya ini adalah urusanNya, maka jika kita berbuat baik kepada lingkungan (termasuk orang lain), maka Tuhan akan membalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, termasuk dengan surgaNya. Sampai-sampai ada kisah yang menceritakan bahwa kelak ada seorang pelacur yang akan masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.

IKHLAS

Ini adalah kunci paling utama untuk menerima gelar sebagai orang yang “berderajat tinggi” di mata Tuhan. Apakah sebagai orang tua kita melakukan penghitungan berapa biaya yang telah kita keluarkan untuk menghidupi anak-anak kita untuk suatu saat kita lakukan perhitungan dengan anak-anak kita ?. Tentu tidak, karenanya jangan coba-coba kita ungkit itu kepada anak-anak kita semisal ketika kita marah kepada mereka kita katakan “dasar anak tak tahu diuntung !,” atau “sudah capek-capek ayah bekerja, kok tidak dihargai !,” dan semacamnya. Itu akan mengurangi nilai keikhlasan kita.

Ikhlas adalah semacam pepatah “kita memberi tanpa kita berharap mendengar ucapan terima kasih dari penerimanya.” Sebaliknya, jika kita menerima kebaikan dari orang lain, segeralah kita menngucapkan terima kasih kepadanya, dan berjanji dalam hati, suatu saat kita akan membalas kebaikan itu.

Keikhlasan ini yang amat mahal harganya. Banyak pemimpin bangsa yang melakukan praktek-praktek kotor untuk bisa menjadi pemimpin. Pemimpin yang hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya, keluarganya atau kelompoknya saja, tidak ubahnya seperti orang gila, ia akan jatuh serendah-rendahnya derajat di hadapanNya.

Karenanya, penulis mengajak diri sendiri dan para pembaca untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan diri agar pantas menjadi seorang pemimpin. Pemimpin yang paling rendah adalah memimpin diri sendiri, tapi jangan hanya berhenti di situ, tingkatkan kemampuan untuk menjadi pemimpin kelompok-kelompok kecil, dan seterusnya agar derajat kita semakin tinggi di hadapanNya. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar